“Loss has been part of my journey. But it has also shown me what is precious. So has love for which I can only grateful.” Kalimat penutup dalam film Message in a Bottle itu membuat saya berpikir, mengapa saya selalu mencari logika untuk semua kekecewaan yang saya terima dalam hidup ini.
Kesedihan
Sewaktu ayah saya meninggal, seorang kerabat mengatakan kalau saya tidak perlu bersedih terlalu lama, karena ayah sudah berada bersama Tuhan. Saya tahu pasti, kalimat itu memiliki tujuan untuk memberi penghiburan. Apakah penghiburan itu datang dari lubuk hatinya, atau sekedar bibirnya bergerak, saya juga tidak tahu.
Yang jelas, penghiburan itu malah menjengkelkan saya. Pertama, saya berhak merasakan kesedihan tanpa butuh dihibur. Saya perlu merasakan kekesalan yang dalam karena saya tidak menerima ayah meninggal.
Kedua, alangkah tidak tepatnya menghibur orang yang sedang tidak membutuhkan penghiburan. Kemampuan mendiamkan mulut agar tidak bersuara itu, memang perlu kepekaan yang tinggi.
Ketiga, dari mana dia tahu bahwa ayah saya sudah bersama Tuhan? Kalaupun kerabat saya itu memiliki iman yang luar biasa, bukankah keputusan masuk surga atau tidak ada di tangan Tuhan?
Kejadiannya selalu demikian. Penghiburan dijadikan solusi kesedihan. Pengalaman berharga dijadikan obat kehilangan. Kegagalan selalu dikatakan sebagai keberhasilan yang tertunda.
Mengapa saya tidak pernah berani mengatakan perjalanan hidup saya memang tidak pernah berhasil tanpa embel-embel mencari hal yang positif di baliknya? Dan pernyataan klise yang sering kali saya dengar dan sungguh membosankan, adalah “pasti ada hikmahnya.”
Ada seorang teman yang selalu mengatakan kalimat ampuhnya, kamu pasti sembuh, kalau dia melihat seseorang sedang sakit. Kesembuhan sudah menjadi milikmu, katanya suatu hari. Singkat cerita, teman yang sakit itu meninggal dunia.
Kemudian ia mengatakan begini. Meninggal itu sebuah kesembuhan. Kesembuhan tidak selalu bersifat fisik, pembebasan rasa sakit adalah kesembuhan. Semua ada hikmahnya. Komentarnya itu sungguh membuat saya marah.
Selalu saja diusahakan mendapatkan alasan dari sebuah kejadian buruk, selalu diusahakan mencari pembenaran untuk sebuah masalah. Kemudian saya bertanya, mengapa harus demikian?
Pelipur lara
Loss has been part of my journey. Loss itu gak enak. Titik. Apa pentingnya kalimat itu dilanjutkan dengan: it has also shown me what is precious? Kemudian saya berpikir, jangan-jangan setiap kali saya mencoba melihat hikmah di balik kegagalan atau kekecewaan, itu hanya karena saya takut menerima dan mengalami kenyataan yang pahit.
Karena pahit saya mencari alat pelipur lara yang super bijaksana yang sangat bisa diterima akal sehat. Bisa jadi yang saya lihat dalam sebuah hikmah hanyalah sebuah fatamorgana. Tetapi sejauh fatamorgana itu bersifat melipur lara, yaa…mengapa tidak?
Pada saat ayah meninggal dan saya begitu kesalnya sampai beberapa minggu lamanya, teman saya berkata begini. “Kalau elo marah dan kesal terus, emang babe lo idup lagi? Enggak kan?”
Saya tahu ayah saya tidak akan hidup lagi, tapi permasalahannya mengapa orang selalu menganjurkan saya untuk tidak meluapkan rasa kekesalan dengan menerima. Kenapa harus demikian? Mengapa mereka tidak membiarkan saya menerima rasa kesal dan menyalurkan dalam bentuk amarah meski itu tidak membuat ayah saya hidup lagi?
Bahwa pada akhirnya, saya bisa melihat bahwa kejadian itu memberi hikmah dan bernilai, itu hal nomor dua. Lama-lama saya jadi berpikir, keseringan mencoba mencari hikmah malah membuat saya semakin terlihat sebagai seorang loser.
Kalau mengambil contoh film lawas di atas itu, saya akan bersyukur bahwa saya memiliki cinta, tetapi kalau saya sampai mengatakan bahwa loss has been part of my journey, mengapa saya harus bersyukur menjadi loser setiap saat?
Dan mengapa harus dilanjutkan dengan kalimat macam but it has also shown me what is precious? Atau kemudian pada keadaan yang lain, saya menyalurkan rasa cinta yang besar itu pada sebuah aktivitas sosial, misalnya.
Aktivitas sosial tidak saya lakukan dalam bentuk pelarian. Saya harus membiasakan untuk memberanikan diri menerima rasa pahit, rasa kehilangan. Menerima bahwa saya memang gagal, dan kegagalan yang saya hadapi itu bukan sebuah keberhasilan yang tertunda.
Saya gagal memang karena saya tidak pandai. Ada yang pandai berhitung, ada yang tidak pandai berhitung. Ada yang memiliki kepekaan keenam, saya kedua saja tidak punya. Saya memang gagal dan tidak berhasil. Titik.
Hikmah tidak untuk dicari dengan akal, tetapi dirasakan terjadi secara alamiah saat keadaan buruk dihadapi. Dengan demikian, hikmah akan menjadi sebuah pencerahan bukan sebuah pelipur lara yang masuk akal.